“Kira-kira sampai kapan Twitter akan bertahan?” Setiap kali menjadi pembicara, pertanyaan yang satu ini pasti muncul dari audience. Pertanyaan yang sebenarnya sulit dijawab tanpa angka-angka yang empiris. Hampir sama dengan pertanyaan “Kapan kira-kira hari kiamat?”
Biasanya saya menjawab, “Twitter nggak akan mati segera, semua butuh proses, karena pesaing yang sejenis sampai sekarang belum terlihat nyata”.
Iya, lahir, hidup dan mati butuh proses. Disamping itu Continue reading “Akankah Kejayaan Twitter Akan Berakhir?”
Malam menjelang pagi, satu setengah jam hari blogger sudah berlalu. Tapi tekad untuk ber-makro blogging – seperti yang saya katakan ke dokter IMCW, @blogdokter tadi sore – harus terlaksana setelah sekian lama terhenti.
Makro blogging? Iya, setelah jaman dulu ngeblog di web, kemudian sejak 2010 rutinitas nge-blog bergeser ke mikro blogging alias sosial media hingga akhirnya web blog terbengkalai. Web blog hanya dibayar domain dan hostingnya saja. Makro blogging atau ngeblog di web, mikro blogging atau ngeblog di sosial media. Sama-sama ngeblog sih.. tapi beda wahana ..
Mungkin sebentar lagi mikro blogging juga sedikit demi sedikit tergeser, walau tidak frontal. Mainan baru yang mulai banyak penggemar yaitu video blogging.. nge-youtube .. kemudian voice blogging.. dengan soundcloud atau aplikasi-aplikasi sejenis lainnya.
Makin ramailah sarana per-blog-an.. semoga semuanya itu bisa bersanding dan tidak saling mengalahkan. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi…
Selamat Hari Blogger yang jatuh pada Senin 27 Oktober 2014
Graffiti di salah satu sudut kota Jogja. foto: @Asli_Wong_Jogja
Graffiti, kalau di Google Translate artinya coretan.
Semua orang pasti setuju kalau graffiti itu digolongkan seni. Dan semua orang pasti akan membela kalau graffiti dikatakan vandal.
Saya sendiri setuju kalau graffiti itu dikatakan sebuah karya seni. Tetapi sedikit tergelitik dalam benak saya, benarkah graffiti bukan vandal?
Cobalah keliling Jogja, kota tempat tinggal saya sekarang. Mungkin apa yang ada di benak saya itu benar adanya. Kenapa? Menurut saya, Jogja dan DI Yogyakarta menjadi cenderung kumuh, kalau boleh saya bandingkan dengan Bali, kota kelahiran saya. Di setiap sudut kota dan desa penuh coretan, entah itu coretan nama genk entah itu coretan gambar yang bagus bahkan signboard Superindo di dekat rumah pun berisi coretan.
Balik lagi ke graffiti itu vandal atau seni..
Bagi saya seni itu hasil cipta, rasa dan budaya si pembuatnya. Seni itu tidak merugikan orang lain. Seni itu bisa dinikmati oleh sedikit atau banyak orang dan semua difinisi yang enak-enak.
Pernahkah terpikirkan bahwa graffiti itu vandal? Secara umum pasti mengatakan tidak. Kenyataannya, segala hal yang merupakan kebalikan dari pernyataan dan difinisi seni tadi, bisa dimasukkan kategori vandal.
Saat si seniman graffiti akan menggambar dinding sebuah toko, mestinya si seniman meminta ijin pemilik toko dulu kan. Nah, bisa jadi si pemilik toko itu sebenarnya tidak rela kalau dinding tokonya digambari, tetapi atas nama seni, terpaksa dia merelakan dinding tokonya di graffiti. Apalagi jika si seniman berpenampilan serem dan beramai ramai saat minta ijin.
Di sudut lain kota Jogja, ada bangunan tua dan kosong, tetapi dindingnya penuh dengan graffiti sehingga bangunan dan kesan heritage-nya menjadi tidak kelihatan.
Pernah juga melihat, dinding rumah yang dilapisi batu alam, tetapi batu alamnya sudah tidak kelihatan lagi tertutup oleh gambar graffiti. Kasian arsitek rumah itu jika melihat hasil karyanya tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Di Fly Over Jombor, yang saat ini belum selesai dibangun, di bagian sampingnya sudah bergraffiti.
Pernah juga melihat, sebuah rumah memasang tulisan dilarang corat-coret di dinding ini
Saya bukan menolak graffiti, tetapi alangkah indahnya kalau di tempat-tempat tertentu bisa saling bersanding .